Orang asing, selamat datang di hidupku. Hari yang dipenuhi kurap dan kalap, sedikit lelap pada sepertiga malam. Aku tidak ingin mengenalmu, kaulah yang datang padaku, menginginkan ini itu tentangku, denganku. Aku tidak memerlukanmu, merindukan kedekatan denganmu, aku bahkan tak ingin memikirkan apa-apa tentangmu. Orang asing, tiba-tiba aku pusaran debu di tengah gasing. kau datang seperti mimpi, seperti potongan rusuk jatuh menjelang subuh. Bukankah kutemui kembali, selebihnya harus kurapikan langit kubenahi gunung-gunung, menata riak-riak laut. Tapi kau datang, tanpa gema lonceng, spanduk, atau kibaran bendera. Jabat tanganmu masih terasa perih, padahal hari itu kau belum berani mencakarku, dan kaupun belum punya kebiasaan untuk memanjangkan kuku, meruncingkan tanganmu, sejenis kebiasaan tidak berguna karena tak bisa kau pakai untuk sekadar melubangi jendela tempat kelak bermukim baut.

Kau yang seperti mimpi, ijinkan sekejap lelap menyambutmu. Karena kesadaran yang terlalu penuh takkan mengijinkan pelukan erat, takkan memberi jarak yang layak untuk persengketaan yang berkerak. Setidaknya, kebodohan yang kusiapkan cukup memberi ruang untuk percakapan bulu-bulu halus, tentang angin yang berkelit ketika hempas napas dihembus. Baiklah, mungkin kita tidak perlu berurusan dengan kesadaran, mereka sekadar adar dalam sandar. Kau dan aku, menyaksikan perasaan asing menyingsing, berkerincing-kerincing, sedang aku selalu terlambat untuk sekadar terjaga, bahkan setelah bergelas-gelas kopi tandas.

Aku ingat kau tertawa, geligimu bercahaya, kau merasa menang karena aku terlena, bahakanmu ke ceruk-ceruk kenangan, berulangkali memanggil sejenis jengah dan marah, sebangun lelah dan kalah. Tapi aku akan membiarkanmu tetap menjadi orang asing bagi kesadaranku yang penuh. Bahakmu gemuruh yang jauh, hujan segera tiba membilas bentuk-bentuk yang hampir kukenali. Seandainya cinta mampu hinggap pada raut yang leleh, maka cinta tak lebih dari rasa manis eskrim yang kita jilat ditengah matari kemarau. Aku tak tahu musim apa yang lebih kau suka, tapi kemarau tak pernah menjadi cuaca favoritku. Bahkan dalam mimpi, yang kuingat dari ikal rambutmu adalah penghujung musim gugur, sedang senyummu selalu awal musim semi. Tentu, kau tak pernah tahu, karena saat kau singkap selimutku, yang kau temukan hanya gigil musim salju.

Tak perlu kau bebani diri dengan napas berat itu, Gangga tak pernah bermuara di mataku. Kita yang pernah mencoba mencuci hari-hari yang berkeringat, hanya menemukan sobekan almanak dengan angka-angka yang juga tertera dalam nadi, dalam senyummu atau dimana saja tempat kita bertemu secara tidak sengaja. Lalu, kita sepakat untuk saling melupakan wajah, menghilangkan rajah di kening masing-masing. Kelak, aku menemukanmu sebagai seseorang dengan kemeja lusuh, melempar-lempar kerikil memancing riak di danau itu. Aku menghampirimu, menjatuhkan buku yang kudekap, kau akan melirik dingin dan kembali memungut kerikil. Dalam hati aku akan mengutukmu sebagai orang yang segera memanen ombak, dan entah apa bunyi hatimu hingga kau genggam tanganku untuk menuntunku ke arah balik pohon itu.

Selalu saja ada suara-suara yang melarang kita untuk mendekati pohon itu. Mungkin mereka tahu tangan kita terlalu usil, memori kita selalu kerdil, hingga selalu saja gatal membubuhkan nama-nama, tetanda kita pernah disana. Bahkan hanya kita saja yang mau repot menebang pohon demi bersusah-susah membangun rumah. Kita tak pernah percaya pada susunan dedaun yang dibuat pohon, mencurigai rimbunnya sebagai sarang ular dan burung hantu. Tapi senja itu kita tidak mengurusi daun dan batang, kita juga hampir tak mendengar keretak ranting yang patah, kita sibuk berseteru dengan kitab suci dan pesona satu sama lain, lalu kita siapkan tempat duduk di hadapan penghulu yang bertanduk.

Suatu senja, 16 Mei 2010. Sekretariat LPIK.

Sebuah tandakata dari sua yang lain; Pradewi Tri Chatami dan Pow Sirunggawir.