Senyumnya semanis kenangan, terarah untukku saja. Kemudian orang lain yang hadir tiba-tiba merelakan nasibnya sebagai latar saja. Entah sejak kapan ia duduk semeja dengan Hamsad, biarlah.. bahkan tak secuilpun hakku untuk cemburu. Tak semestinya aku beranjak kewalahan menghadapi tatap dan senyum lembut sementara pundak Hamsad hanya bingkai yang sia-sia. Senja tertegun  di kaca jendela dan di sini kurasakan waktu seolah menyimpan napasnya di dada untuk beberapa saat kemudian menghembuskannya sangat perlahan, seperti garis yang dilukis dengan teramat hati-hati. Hampir tak terasa. 16.40 di jam tanganku, sudah lebih setengah jam untuk hari ini aku berusaha menulis cerita. Entah mengapa aku begitu sulit mengerjakannya, seperti menyiasati nasib sendiri.
Gelas kopi di hadapan untuk kedua kalinya terisi kini tinggal setengah, kertas-kertas di atas meja, asbak mulai sarat muatan, ballpoin masih kugenggam lebih sering kugigit daripada kutuliskan sesuatu, kugoyang-goyangkan kaki di kolong meja, menciptakan sedikit gempa dan gelombang di dalam gelas. Mungkin saja demi tingkahku ia tersenyum. Tapi tak mungkin untuk semacam hal itu ia tersenyum semanis itu. Senyuman yang secara spesifik paling mungkin dibenci iblis, karena secara laten mengancam reputasi yang dibina selama berabad-abad. Baiklah.. aku mungkin berlebihan, tapi keyakinanku terhadap orang semacam Hitler disepanjang hidupnya tidak pernah mendapatkan senyuman semanis ini dari seorang perempuan, senyuman yang tiba-tiba membuat hati merasa curam dan paling tidak hal yang terasa begitu akrab untuk waktu yang lama melanda serta-merta, yang jauh dari suatu masa, yang datang tidak atas keraguan dan bukan semata kunjungan. Tidak akan pernah sebanding lurus dengan cerita di atas kertas.
Malam di paruh Oktober pekat dan berat. Perempuan itu menggeser tubuhnya merapatkan diri pada laki-laki, mungkin udara memaksanya demikian. Ketika hujan mulai sedikit reda, rasa kasmaran mereka bukannya tuntas malah semakin yakin.
“Hujan selalu membuatku merasa sangat sepi”.
“Juga kali ini?”
“Terkecuali, kamu ada di sini mencintaiku, apalagi yang ku khawatirkan selain bahwa mungkin suatu hari tidak lagi. Aku bahkan takut untuk membayangkannya”. Lelaki mendekap gadisnya dengan erat, menngecup keningnya mesra.
“Aku akan selalu begitu selama kau menghendakinya bahkan pun jika tidak”. Gadis itu menanggapi ketulusan kekasihnya dengan perih yang nyaring menancap di uluhati, sekilas terbayang wajah pacar yang telah lama mendahului harapan demi harapan saling sandar-menyandari. Telah sepakat untuk sebuah tempuhan hidup yang sederhana saling menerima.
“Tapi kau tahu, aku telah cedera oleh masa laluku, bahkan sebagai perempuan…” Perlahan jemari hujan kembali lincah memainkan simfoni musim, meraut udara menajamkan sunyi masing-masing.
“Sejarahmu sudah menjadi bagian sejarahku, kita tak usah bicarakan lagi. Lagipula, bukankah mencintai adalah upaya mengutuhkan diri?”
“Berjanjilah kau tak akan melupakanku”. Perempuan memegang tangan kekasih dengan erat.
“Ya..” Lelaki menjawab pelan seperti berkata pada dirinya sendiri, matanya menerawang sementara ia rasakan antara khawatir dan perih lekat di dada, kesadaran bahwa kesungguhan kekasih yang terbelah, seperti urat-urat jantung yang lekat di degup. Ia berusaha untuk menepisnya jauh-jauh. Kamar temaram sejenak bisu, tempias hujan menggapai kaca jendela dihantar angin yang makin runcing. Mereka saling menghayati degup jantung masing-masing, harap cemas mungkin suatukali terhenti, namun semakin seringkali, bergetar dimainkan naluri. Malam gerimis penuh sinis di luar, pekat jumawa.
Aku merasa dikhianati oleh bagian awal ceritaku sendiri. Aku menatap kertas ditanganku yang penuh coretan dan hatiku coreng-moreng, mengapa malam itu tak lugas dan apa adanya, suatu malam yang sempat dilalui Himiko dan Bird? Aku suka bagian hantu perompak yang menyelinap dalam gelap menculik bayi-bayi yang lucu, mungkin mereka mengintainya semenjak senja menjanin, semenjak mereka berencana tentang dunia. Padahal aku merasa telah terlalu lama di kafe ini hanya untuk memikirkan dan menimbang suatu malam pada paragraf awal, bahkan kopi dalam gelas yang kali ini tinggal dua senti menuju ampas. Entah mengapa aku masih menyukai kopi dengan ampas, yang hitam dan biasa, ketika habis meninggalkan sesuatu seperti kenangan yang mengendap di dasar gelas. Kunyalakan sebatang rokok kemudian menuntaskan kopi pada tegukan terakhir meski lambungku berharap tidak, saat kuusap mulutku dari bubuk kopi yang lancang bertandang dengan punggung tangan tatapku terulang terpikat. Perempuan dengan sweater wol lembut, bergaris horizontal hingga lengan, biru pucat berselang biru tua nyaris hitam. Wajahnya bulat disisi kanan punggung Hamsad. Matanya tetap bening meski di senja yang sanggup mengacaukan sisiran rambut Baltazar, pundaknya menekuk seperti sepasang sayap merpati yang sejenak hinggap, menghayati segelas juice alpukat dihadapanya. Kemudian dia terseyum padaku ketika tatapan kami berjabat, semanis kenangan, serapi semilir angin Februari. Aku masih tak yakin senyuman itu tulus untukku.
Tiba-tiba Hamsad memiringkan tubuhnya, menggoyah ketelatenan visual yang tengah terjalin, ia menatapku dan menempelkan telunjuknya di sisi kening kemudian mengetuk-ngetuk pergelangan tangannya padahal ia tak memakai jam tangan. Hatiku geram. Aku mendekatkan jempol dan telunjukku sebagai isyarat untuk menunggu sebentar lagi. Hamsad mengangkat bahu dan kembali berbalik kembali, seperti sebuah upaya penebusan dosa yang sia-sia. Sayup-sayup suara obrolan mereka kembali. Aku tak perlu khawatir, bagaimanapun tidak akan terjadi suatu hubungan yang rumit antara aku, Hamsad dan perempuan itu. Bahkan dalam ceritaku aku menggunakan kata “pacar” untuk laki-laki yang pertama kali terlibat dengan perempuan itu dan “kekasih” untuk laki-laki yang kedua. Semoga Hamsad tidak dalam satupun predikat itu, yang mesti kukhawatirkan kali ini ialah hati Lastri. Aku tak perlu terlibat terlalu jauh. Ah, lagipula mungkin hanya rekaan pikiranku saja ada seorang perempuan dengan wajah akrab di meja Hamsad, dan suara obrolan itu hanya gumaman Hamsad atau nyanyian kecilnya saja. Lebih baik menganggapnya demikian.
Tapi apa yang membuat hari ini Hamsad seperti meraih kemudaannya kembali? Dan usianya memang hanya selisih tiga tahun di atasku, tetapi katanya ia sudah tujuh tahun menikahi Lastri.
“Aku sudah bisa menggendong si sulung waktu seumurmu” kata Hamsad menyindirku suatu ketika sepulang kerja.
“Ayolah bung, waktunya topi pait!” sebutan kami untuk kopi kesukaanku yang biasa kunikmati sepulang kerja, lebih sering di Jumat sore. “Dan bukan salahku jika kau adalah orang yang tua sebelum waktunya” lanjutku membalas.
“Nanti kau akan ku pertemukan dengan seorang perempuan, dan seumur hidup kau tidak akan pernah terpikir untuk menyesal karena mengenalku dan mengenal dia. Aku jamin, keterlambatanmu akan terbayar”
“Itu membuktikan orang sebaik aku dimanapun berada selalu punya sahabat yang ikut memikirkan nasibnya. Dan kau orang yang dipilih tuhan untuk itu” Jawabku sambil menepuk bahu Hamsad, “Untuk urusan bayar membayar, kau lebih pakar di bidang itu kawan..” kemudian kami berjalan kearah kafe sambil tertawa dan bercanda seperti biasanya, padahal selain teman ia juga atasanku dan sialnya aku selalu merasa kalah dalam banyak hal olehnya.
Kupikir, makna kalimat Hamsad waktu itu mungkin ia mulai terasa terusik dengan sikapku yang seenaknya datang kerumahnya jika aku bosan sendirian di kamar. Bagaimanapun keluarga adalah ruang paling pribadi dan mungkin aku terlalu lancang melanggar itu dari Hamsad, tentu ia hendak menegaskan suatu batas yang agak lebih jelas atau menghampar jarak yang agak luas. Ah, bahkan ia selalu ingat tanggal ulang tahunku dan sering memberikan kejutan yang membuatku haru dan dia yang lebih sering mentraktirku ketimbang sebaliknya. Kadang aku merasa perbedaan usia kami menjulang, karena ia begitu selalu bisa mengerti dengan tingkahku yang macam-macam dan sering kekanak-kanakan, bahkan ketika aku bilang tiba-tiba aku ingin menulis cerita yang entah kenapa begitu hidup dikepalaku, kukatakan bahkan aku sampai memimpikannya dan aku seperti dikejar deadline yang waktunya tak tentu. Hari ini ketika aku bilang aku merasa aku harus segera menemukan akhir dari ceritaku tapi aku tidak menemukannya dikamar. Kupikir aku harus melakukannya di tempat terbuka dan sedikit ramai supaya cerita itu tidak terlalu menguasaiku.
“Jangan kau anggap sepele apa yang terjadi dalam kepalamu”. Katanya, tapi aku mengharapkan sebuah tanggapan yang lebih mencengangkan dari itu. Kemudian ia  memilih duduk di meja yang berbeda kukira agar aku dapat sedikit berkonsentrasi. Dalam hatiku, dengan menulis cerita  aku merasa akan melakukan hal yang tak bisa dilakukan Hamsad, dan itu harus terjadi!
“Tapi ingat, aku punya janji kepadamu..” Katanya, dan aku tak sempat bertanya tentang apa ia sudah meninggalkanku bersama kertas-kertas untuk kemudian mengambil tempat duduk dimeja terhalang dua dan duduk memunggungi, untuk kesekian kalinya kalinya aku melihatnya dengan tatapan mengancam. Dihadapanku Hamsad selalu terlihat ceria, tapi entah kenapa aku merasa aku bisa mencium aura luka yang selalu ia sembunyikan, mungkin berasal dari penggal pekat masa lalu.
Laki-laki yang hanya memicingkan mata saat matahari terlanjur tinggi, dan dipaksa bangun oleh suhu udara, kemudian menggeser tubuh membuka sedikit pintu mengijinkan udara masuk, menyalakan rokok dan mereguk sisa dingin malam yang masih di gelas kopi. Sejenak ia merenungi endapan ampas, tentang harapan kandas. Hari ini seperti biasa ia merasa sangat malas untuk bangun, beretatap muka dengan dunia, bahkan berharap untuk tidak pernah. Beberapa minggu ini laki-laki itu tidur terlalu larut, ia hanya takut untuk kembali menyalin mimpi-mimpinya yang membuat hati rawan saat bangun. Bagaimanapun semuanya telah usai, keputusan telah ditetapkan, dirinya terhempas sia-sia. Kalah secara gemilang. Ya, kekalahan yang secara telaten direncanakan sejak awal, karena bagaimanapun cerita yang terjalin antara ia dan kekasihnya tak lebih berharga dari masa lalu yang sering didendangkan kekasihnya dengan senang hati dan penuh melankoli. Tapi harusnya juga akhir dari cemburu yang erat membungkus hati, yang selama ini menjadi kewajaran yang mustahil, yang memaksanya melipat rapi rasa perih. Dan akhirnya..
“Aku merasa ia lebih bisa kuterima sebagai pendampingku..”
“Hhh.. Kau tidak mencari pendamping, tapi mengharapkan seorang penyelamat dari hidupmu sendiri yang selalu kau anggap tak aman”.
“Tidak, kau salah.. aku telah memikirkannya, dan keterlibatan kita hanyalah kekeliruan yang dilakukan secara sadar” Perempuan itu merendahkan suaranya, mungkin takut terdengar bahwa ada yang berbeda dari suaranya karena sesuatu nengganjal ditenggorokan naik dari dadanya. “Dan kau tahu sejak dulu kami baik-baik saja”. Perempuan itu berkata pelan, berusaha  meyakinkan diri. “Kita mesti mengakhiri semua ini.”
“Baiklah.. Tapi, setelah ini, apakah aku masih bisa menemuimu?” Ia menatap langsung mata perempuan itu.
“Entahlah.. kukira tak perlu”. Perempuan itu menunduk dan sedikit berbahagia karena berhasil untuk tidak menangis. “Maafkan aku..” Lanjutnya perlahan.
“Tak apa…” Laki-laki itu berkata pelan, sedang dalam hatinya ia ragu-ragu apakah nanti ia sanggup untuk itu, menjinakkan kawat-kawat rindu berduri tajam yang terlalu sering membelit suasana hati.
Siang beranjak tua, laki-laki itu perlahan melebarkan pintu kamarnya, menengok keluar. Ia bayangkan menyambut di pintu kekasihnya yang berkunjung di waktu lalu. Bahkan sewaktu tidur ia bermimpi semalaman tak tidur, menemani kekasihnya yang setiap lima puluh delapan menit dibangunkan tangis bayi perempuan mungil berusia seminggu untuk meminta susu. Naya kecil anakku, akan kujaga dengan rela, dari rasa lapar, nyamuk dan hantu perompak. Bahkan akan kulakukan apapun bahkan yang paling mustahil, dengan menjagamu agar tetap tidak berada dalam waktu dan tempat yang keliru, karena negeri ini menuntut pahlawan lebih banyak dan lebih curang dari para penjajah yang lampau. Ia menarik nafas dalam, teringat berita nasib seorang aktifis yang menemukan takdir kepahlawanannya justru di kursi nyaman pesawat saat hendak berkunjung ke negeri yang dulu penjajah itu, justru sebagai orang merdeka dan dengan harga diri yang lengkap. Tapi kemudian malah dibunuh saudara setanah air. Entah kenapa pikirannya dipenuhi tragedi.
Ia merasa letih, kemudian mulai berpikir bagaimana caranya supaya tidak berpikir, atau setidaknya hanya memikirkan apa yang dipikirkan tujuh orang dari sepuluh orang yang sedang berpikir. Ia harus mulai membiasakan diri untuk tidak memikirkan sesuatu yang tidak ada di hadapannya, apalagi mengharapkan seseorang datang demi memahami tiap inci kecemasannya, seseorang yang mengalirkan puisi dari restu tatapnya, seseorang yang membuat ia menangis karena cemas akan keselamatannya. Seseorang yang pernah membuat ia melakukan segalanya kecuali satu hal; yaitu melakukannya semuanya dengan benar dan semestinya. Tiba-tiba ia merasa membenci dirinya sendiri, dan itu menyakitkan.
Hamsad memanggilku dengan menekukkan tangan kemulutnya mungkin agar suaranya tak begitu mengganggu yang lain dan dengan cepat menjangkau pendengaranku, membuyarkan rencana akhir yang aku tak tahu kemana arah jejaknya. Aku baru saja memikirkan akhir dari nasib karakter laki-laki dalam ceritaku, mungkin sebuah kematian yang sederhana, tak lebih tragis dari apapun. Setidaknya aku tak memilih bunuh diri untuk akhir nasibnya, tapi sebuah kematian yang biasa misalnya tentang penyakit jantung bawaan yang diderita atau sebuah kekeliruan kecil yang berakibat fatal. Aku merasa ia tak pantas mati dengan cara yang menarik perhatian. Ah, bukankah kematian selalu sama saja meski berbagai cara menempuhnya? Seperti dalam matematika, sebuah rumus yang sama untuk soal yang berbeda. Yang pasti, aku akan membunuhnya saat dia sedang lengah.
Hamsad kembali memanggilku, kali ini dengan suara yang lebih keras. Ia kemudian menunjuk perempuan di hadapannya lalu menunjuk kearahku. Ya, aku tahu perempuan itu benar-benar nyata dan duduk sebangku dengan Hamsad. Aku mengangguk dalam bingung. Ya tuhan.. perempuan merpati itu beranjak berjalan kearahku, dengan birunya yang cantik menyusuri celah-celah pikiranku.
“Columbiformes, D. Superbus” Bisikku. Sepertinya ia tidak bergerak maju, melainkan mundur kemasa-masa yang jauh, aku dan dia sebagai sepasang merpati yang terbang bebas mengarungi dunia. Ia pun tersenyum padaku seperti membaca arah pikiranku, masih manis dan seterjal kenangan. Dan ia ada dihadapanku, perempuan itu, kenangan itu..
“Maaf, tak seharusnya aku mengganggumu menulis”, ia mengambil kertas-kertas di atas meja dan mulai membacanya. Seharusnya tak kuijinkan, tapi entah mengapa aku merasa ia berhak melakukannya. Aku hanya terdiam memandangi bibirnya bergerak-gerak dimainkan huruf-huruf.
“Aku tidak menyangka kita bisa bertemu, Lastri sahabatku waktu sekolah dulu. Hamsad sering bercerita tentangmu, dan demikian pula denganku”. Aku masih terdiam menatapnya dalam-dalam dan kupikir aku tak perlu khawatir lagi tentang hati Lastri.
“Aku belum selesai menulis, dan belum menemukan akhir ceritanya” Kataku pelan. “Dia harus mati..” Lanjutku penuh duka cita. Ia meletakan kertas itu kembali, menatapku dengan mata yang lebih bening kali ini.
“Siapa?”
“Lelaki itu” kataku menunjuk kertas..
“Aku merasa tak asing dengan ceritamu..” Ia berbicara dengan sedikit saja menggerakan bibirnya. “Dan aku tak setuju dengan kematiannya”.
“Tidak!! Hanya kematian yang paling menyembuhkan!”. Kataku agak keras, “Dan kau, apa yang membuat kamu tidak setuju denganku? Aku tidak melakukan kejahatan dengan membunuhnya. Memangnya kamu siapa?!”. Tiba-tiba emosiku melonjak entah kenapa. Ia menarik nafas panjang menatapku tajam kemudian beranjak dari duduknya, melangkah dengan letih, mengepak menjauh..
“Maafkan aku..” Katanya dengan suara tertahan, seperti nada suara yang pernah. Ia pergi meninggalkan senyum yang sangat pahit untuk bibirku, kemudian Hamsad menyusulnya keluar dengan tergesa setelah melirikku dengan tajam sebagai isyarat yang entah apa. Malam lekas di jendela, pikiranku kacau dan aku masih belum menemukan akhir ceritaku, kutatap kertas-kertas di atas meja dengan perasaan sia-sia []

Cileunyi, 19 Januari 2007